Senin, 22 Agustus 2011

I’m Jashlyn “The Secret” Part. 2

JASHLYN'POV

"Aku bukan seperti apa yang kau cari. Tapi aku adalah apa yang kau nanti" -Jashlyn


Ketika aku memasuki rumah, keadaan rumah sudah ramai dengan suara yang memenuhi ruangan. Apa lagi ini? Jangan bilang ulang tahun Renesmee yang sudah 1 bulan lewat, dirayakan lebih meriah. Tapi dugaanku salah saat kutahu tidak ada satupun pernak-pernik pesta menghiasi rumah. Masih tampak seperti biasanya. Rapi dan renggang.
“Jashlyn sudah datang!” seru Alice girang. Ia berlari kecil mendekatiku dan hendak memelukku. Awalnya ia canggung, tetapi akhirnya ia berhasil memelukku tanpa kubalas pelukannya. Aku terlihat seperti orang idiot.
“Memangnya ada apa?” tanyaku dengan nada yang terdengar seperti tidak mau tahu.
“Kau kan satu sekolah dengan Nessie. Masa kau tidak tahu kalau Nessie mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya.”
“Oh, ya aku tahu.” Aku menghindar dari keramaian dan berniat untuk mengerjakan PR-ku. Tapi Bella memanggil namaku sehingga membuatku berhenti di bawah tangga.
“Jashy aku ingin berbicara denganmu,” tukas Bella.
Aku membalikkan badan dan memandangi Bella. Kulihat wajahnya yang penuh harap.
“Tentu.”
Bella menoleh ke yang lainnya dan melangkahkan kaki meninggalkan ruang santai. Aku mengikutinya di belakang dengan penuh tanya. Apa yang ingin dibicarakan Bella? Aku jadi penasaran.
Bella berhenti dan duduk di kursi taman belakang. Aku pun duduk di sampingnya. Jujur saja, aku lebih suka jika berdekatan dengan Bella daripada dengan Alice. Ia seolah mengerti apa yang sedang kurasakan.
“Ini adalah pertama kalinya kau mengajakku bicara berdua,” kataku dingin. Bella mengangguk setuju. Ia menatapku dalam.
“Aku hanya tidak ingin membuatmu kikuk jika berada di dekatku, Jash. Kau harus bisa terbuka dengan keluarga ini.”
Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan memilih untuk memandangi telapak tanganku yang kupangku. Aku tidak bisa menatap mata Bella yang seperti mata malaikat. Renesmee sangat beruntung memiliki Bella.
“Jash,” Bella lebih mendekat. “Kau sudah menjadi bagian dari kami. Tidak ada yang menyalahkanmu akan sesuatu yang sudah kau lakukan.”
“Bella,” akhirnya aku membalas tatapannya. “Aku membunuh lebih dari 10 orang.”
“Aku juga.”
Aku menaikkan sebelah alisku. Setahuku Bella tidak pernah membunuh manusia.
“Kau pernah?”
“Ya, aku serasa sudah membunuh Charlie dan Renee saat mereka tahu aku berubah seperti ini.”
Aku tertawa. Baru kali ini aku bisa tertawa. Tawa yang lepas dan tidak ada beban di dalamnya.
“Hei, aku suka melihat tawamu itu. Jashlyn, kalau saja kau selalu tersenyum dan tertawa, kau akan terlihat lebih cantik.” Bella mengulaskan senyuman. “Aku ingin melihat Jashlyn yang baru. Bukan Jashlyn Volturi. Tapi Jashlyn Cullen-Hale.”
Mau tak mau aku tersenyum juga. Andai saja Alice bisa bersikap seperti Bella. Tidak canggung dan lebih santai terhadapku. Rasanya aku ingin memeluk Bella. Tiap melihatnya, aku selalu teringat dengan ibuku.
“Keberatan jika aku memelukmu?” tanya Bella seakan-akan bisa membaca pikiranku. Aku tidak akan menolak. Bagaimanapun juga Bella tidak akan mati jika kusentuh.
“Tentu.”
Bella tersenyum dan memelukku. Dengan rasa canggung aku membalas pelukannya. Kupastikan ia baik-baik saja. Dan ya, ia memang baik-baik saja. Bahkan ia mengeratkan pelukannya. Bella adalah vampir pertama kali yang memelukku. Dan bisa kurasakan bagaimana rasanya. Setidaknya aku bisa merasakan apa yang dirasakan Renesmee. Meskipun hanya satu.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya kenapa aku jadi lebih tersenyum pasca perbincanganku dengan Bella. Apalagi kedekatanku dengan Bella yang seperti sahabat dekat. Tapi mereka lebih suka melihatku seperti ini daripada yang sebelumnya. Meskipun begitu, aku tidak bisa merubah sikap dinginku terhadap Renesmee. Ia selalu berusahan membaur denganku dengan wajah berharap, namun aku selalu menghindar.
Sama seperti saat di sekolah. Aku tidak banyak bicara dengannya. Meskipun aku berusaha untuk berubah, aku tidak akan mau bergabung dengan teman manusiaku. Aku masih sering tertutup dan menyendiri. Kemajuanku hanyalah mengajak ngobrol temanku yang lain. Dan tentu saja itu adalah hal yang aneh bagi mereka.
“Hai, Jashlyn,” sapa Justin saat aku duduk sendirian di kafetaria. Aku mengalihkan pandanganku dari buku yang kubaca. Kupandang Justin yang berdiri di depanku.
“Hai,” balasku seperti biasa. Walaupun rasa aneh itu menghampiri lagi. Untung saja aku bisa mengontrolnya.
Tanpa kusuruh duduk, Justin sudah menempati kursi di depanku. “Aku dengar kau sekarang suka mengobrol dengan yang lain.”
“Memangnya kenapa?”
“Hal yang janggal. Aku tidak pernah melihatmu bicara dengan yang lain.” Justin memajukan kursinya ke depan. “Well, aku ingin lebih mengenalmu, Jash.”
“Untuk apa?” nadaku naik satu oktaf. Aku jadi mirip seperti Alice kalau begini.
“Bukannya aku bermaksud apa-apa. Aku ingin menjadi temanmu.”
Rasanya seperti ada yang menyetrumku saat ia mengatakan ‘teman’. Teman? Perasaan kecewa menghinggapiku tiba-tiba. “Itu adalah ucapan terbodoh yang pernah kudengar, Justin.”
“Oh ya?” Justin menaikkan kedua alisnya. “Kalau begitu kau orang yang paling bodoh.”
“Aku?” nada suaraku naik satu oktaf lagi. “Aku bukan orang yang bodoh.” Tapi vampir yang bodoh.
“Kau bodoh. Kau membiarkan dirimu dikasihani banyak orang karena kau tidak pernah memiliki teman.”
Aku mencerna ucapan Justin. Dan mengalihkan pandanganku saat mata hazelnya tertuju padaku. Aku tidak tahu apa ada orang yang mengasihaniku. Jujur saja aku paling benci dikasihani.
“Justin.” Aku kembali memandangnya setelah cukup menenangkan hatiku yang terasa tidak karuan. “Suatu saat nanti kau akan mengerti kenapa aku memilih untuk tidak berteman dengan siapapun.”
“Aku harap tidak untuk selamanya.”
Aku menghela napas pendek dan mengemasi barangku. Setelah itu kutinggalkan Justin yang masih memberikan tatapan tanya bercampur keheranan. Aku tidak menyukai obrolan seperti ini. Aku tidak bisa membohongi banyak orang lagi. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya aku. Dan juga ceritaku yang menjadi misteri.
Tapi jujur. Aku merindukan masa laluku. Yang kudengar, hanya ada satu orang terdekatku yang masih hidup. Tapi aku tidak tahu dimana ia berada. Kuharap ia tidak akan terkejut jika melihatku datang dalam bentuk gadis berumur 17 tahun sedangkan ia sudah berumur 50 tahun lebih. Namanya terngiang di telingaku secara tiba-tiba. Jasmine. Jasmine. Jasmine.
“Hai, keponakanku yang kini lebih sering tersenyum!” Emmett melompat dari sofa dan menghampiriku saat aku memasuki rumah.
“Hai,” sapaku kikuk. “Kenapa?”
“Tadi sewaktu Alice membersihkan kamarmu, dia menemukan sesuatu.”
“Sesuatu?” Aku memberikan tatapan tanya kepada Emmett.
“Ya. Coba saja kau cek. Tadi dia mencarimu. Aku bilang saja kau belum pulang.”
Secepatnya aku berlari menuju kamarku. Aku takut kalau-kalau Alice menemukan benda yang sangat kujaga. Dan aku tidak mau jika ada orang yang menemukan benda itu.
Terlambat. Alice sudah menemukan benda yang seharusnya tidak boleh ditemukan oleh siapapun. Benda tersebut tergeletak di atas meja kecil. Aku meraihnya dan tiba-tiba saja tanganku bergetar. Aku berharap kalau Alice tidak sempat membaca buku harian lusuhku ini. Aku tidak mau ada yang tahu masa laluku seperti apa.
“Aku mendengar pikiranmu,” kudengar sebuah suara di belakangku. Aku membalikkan badan dan melihat Edward berada di dekatku. Aku tidak bisa membalasnya langsung. Aku hanya terdiam.
“Aku bisa membantumu mencarikan Jasmine. Itupun kalau kau mau,” lanjutnya.
“Aku ingin mendengar suaranya. Itu saja sudah cukup.”
“Seharusnya kau tidak perlu menutupi semua itu, Jash. Kami adalah keluargamu sekarang.”
Aku tidak menjawab lagi. “Aku butuh ketenangan.”
“Akan kukabulkan.” Edward tidak membalas lebih. Ia melenggang pergi dari kamarku. Kututup pintu kamarku menggunakan pikiranku. Agak pelan. Tidak seperti biasanya saat aku sedang sedih ataupun marah.
Aku tertunduk lesu. Kuhampiri ranjangku dan mendudukinya. Tanganku bergetar saat kupandangi lagi buku bersampul coklat yang kini berada di genggamanku. Rasanya aneh. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku menjamah buku tersebut.
Entah bagaimana bisa semua anggota keluarga Cullen mengetahui semua rahasia masa laluku. Aku menebak ini semua pasti ulah Edward. Atau kalau tidak Alice yang menceritakannya setelah membaca buku harianku. Mungkin saja.
“Jashlyn, kalau kau masih bersikap kurang terbuka pada kami, bagaimana kami bisa membantumu?” tanya Carlisle dengan nada bijaknya. Aku serasa seperti dipaku di tembok ketika seluruh mata tertuju kepadaku di ruang pertemuan.
“Aku tidak ingin melibatkan kalian dalam masalahku.”
“Kau bisa mengatakannya pada kami,” ujar Jasper.
Aku menaikkan sebelah alisku. “Well, mungkin tidak saat ini. Kalian harus bisa mengerti keadaanku.”
Ada alasan mengapa aku tidak mau mengatakan segalanya pada mereka menyangkut masa laluku. Dan keadaanku yang akan terancam jika aku banyak bicara mengenahi hal tersebut.
Edward menatapku dengan tatapan anehnya.
“Jangan pernah berusaha membaca pikiranku,” sautku cepat dengan nada ketus. Aku harus pintar-pintar mengalihkan pikiranku. Seperti yang diajarkan oleh Jane kepadaku. Tapi hal itu jarang berhasil kulakukan.
“Aku tidak,” elak Edward.
“Kau bisa menceritakannya pada kami. Sedikit saja sudah berarti,” lanjut Esme.
“Kalau aku bilang tidak, ya tidak! Jangan pernah memaksaku!”
Alice mengerutkan keningnya. “Sepertinya Jashlyn tidak ingin mengatakannya saat ini.” Ia menganggukkan kepala ke arah Carlisle dan Esme.
“Baiklah, kau boleh pergi.” tutur Carlisle.
Aku menarik napas panjang dan berdiri. Kulangkahkan kakiku menghindari meja oval tersebut sampai akhirnya aku berhenti saat Bella memanggil namaku.
“Jashlyn.”
Aku menoleh ke arahnya. “Ada apa? “
“Ini untukmu.” Bella berdiri dan menyodorkan secarik kertas untukku. Aku menerimanya dengan rasa penasaran. Dan setelah itu kulanjutkan lagi langkahku menuju ke atas. Kudengar bisikan-bisikan dari arah meja oval saat aku sudah sampai di bawah tangga.
Di dalam kamar, aku mulai membuka secarik kertas yang diberikan oleh Bella tadi. Betapa terkejutnya aku saat melihat barisan nomor telepon yang tertera di kertas tersebut. Dan terdapat nama Jasmine Helgar di atasnya.
Dengan diliputi rasa penasaran aku mencoba menghubungi nomor tersebut. Saat deringan ke-3, kudengar sebuah suara menyahut dari dalam.
Halo kediaman keluarga Helgar.”
Meskipun aku sudah tidak pernah bertemu dengan Jasmine, aku masih bisa mengenali suara merdunya. Itu adalah Jasmine.
Nadaku terdengar bergetar. “Aku sedang mencari Jasmine O’Sullivan.”
Aku sendiri.”
Benar! Ia adalah Jasmine!
“Apa kau mengenal Jashlyn Brown?”
Ya, dia sahabatku.” Kudengar suara Jasmine berubah seperti ingin menangis. “Aku mendengar kabarnya kalau dia sudah meninggal saat diserang binatang buas di hutan. Dan sampai saat ini aku tidak tahu dimana dia berada. Aku harap dia masih hidup. Oh, maaf. Ngomong-ngomong, siapa kau?”
Oh Tuhan... tidak seharusnya aku menghilang tanpa memberikan kabar kepada orang yang kusayangi. Apalagi Jasmine, sahabat karibku. Aku benar-benar merindukannya dan berharap bisa bertemu dengannya. Namun entah kenapa aku mengurungkan niatku saat mengingat siapa yang sedang mengejarku saat ini. Dan bisa kurasakan ia semakin dekat denganku. Ia lebih kuat dari Volturi. Aku bahkan tidak bisa menyimpan pikiranku darinya. Segera kututup teleponnya. Aku benar-benar bingung. Siapapun, tolonglah aku!


To be continued...


*Penasaran kan sama kelanjutan ceritanya?
*Ada apa sih dengan masa lalu Jashlyn? Siapa yang mengejarnya?
*Tetap aja baca cerita aneh ini sampai selesai. Yah itung-itung ngusir kebosanan
Hahahahahahaha


Loveyta Chen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto saya
hi, im the mysterious :P

Welcome to My Blog

you just clicked this page. don't go anywhere until you leave me a message

Labels

Followers

Blogger news

Blogger templates

Follow My Twitter!

Blogroll

: