Senin, 22 Agustus 2011

I’m Jashlyn “The Secret” Part. 2

JASHLYN'POV

"Aku bukan seperti apa yang kau cari. Tapi aku adalah apa yang kau nanti" -Jashlyn


Ketika aku memasuki rumah, keadaan rumah sudah ramai dengan suara yang memenuhi ruangan. Apa lagi ini? Jangan bilang ulang tahun Renesmee yang sudah 1 bulan lewat, dirayakan lebih meriah. Tapi dugaanku salah saat kutahu tidak ada satupun pernak-pernik pesta menghiasi rumah. Masih tampak seperti biasanya. Rapi dan renggang.
“Jashlyn sudah datang!” seru Alice girang. Ia berlari kecil mendekatiku dan hendak memelukku. Awalnya ia canggung, tetapi akhirnya ia berhasil memelukku tanpa kubalas pelukannya. Aku terlihat seperti orang idiot.
“Memangnya ada apa?” tanyaku dengan nada yang terdengar seperti tidak mau tahu.
“Kau kan satu sekolah dengan Nessie. Masa kau tidak tahu kalau Nessie mendapatkan nilai tertinggi di sekolahnya.”
“Oh, ya aku tahu.” Aku menghindar dari keramaian dan berniat untuk mengerjakan PR-ku. Tapi Bella memanggil namaku sehingga membuatku berhenti di bawah tangga.
“Jashy aku ingin berbicara denganmu,” tukas Bella.
Aku membalikkan badan dan memandangi Bella. Kulihat wajahnya yang penuh harap.
“Tentu.”
Bella menoleh ke yang lainnya dan melangkahkan kaki meninggalkan ruang santai. Aku mengikutinya di belakang dengan penuh tanya. Apa yang ingin dibicarakan Bella? Aku jadi penasaran.
Bella berhenti dan duduk di kursi taman belakang. Aku pun duduk di sampingnya. Jujur saja, aku lebih suka jika berdekatan dengan Bella daripada dengan Alice. Ia seolah mengerti apa yang sedang kurasakan.
“Ini adalah pertama kalinya kau mengajakku bicara berdua,” kataku dingin. Bella mengangguk setuju. Ia menatapku dalam.
“Aku hanya tidak ingin membuatmu kikuk jika berada di dekatku, Jash. Kau harus bisa terbuka dengan keluarga ini.”
Aku mengerjapkan mata beberapa kali dan memilih untuk memandangi telapak tanganku yang kupangku. Aku tidak bisa menatap mata Bella yang seperti mata malaikat. Renesmee sangat beruntung memiliki Bella.
“Jash,” Bella lebih mendekat. “Kau sudah menjadi bagian dari kami. Tidak ada yang menyalahkanmu akan sesuatu yang sudah kau lakukan.”
“Bella,” akhirnya aku membalas tatapannya. “Aku membunuh lebih dari 10 orang.”
“Aku juga.”
Aku menaikkan sebelah alisku. Setahuku Bella tidak pernah membunuh manusia.
“Kau pernah?”
“Ya, aku serasa sudah membunuh Charlie dan Renee saat mereka tahu aku berubah seperti ini.”
Aku tertawa. Baru kali ini aku bisa tertawa. Tawa yang lepas dan tidak ada beban di dalamnya.
“Hei, aku suka melihat tawamu itu. Jashlyn, kalau saja kau selalu tersenyum dan tertawa, kau akan terlihat lebih cantik.” Bella mengulaskan senyuman. “Aku ingin melihat Jashlyn yang baru. Bukan Jashlyn Volturi. Tapi Jashlyn Cullen-Hale.”
Mau tak mau aku tersenyum juga. Andai saja Alice bisa bersikap seperti Bella. Tidak canggung dan lebih santai terhadapku. Rasanya aku ingin memeluk Bella. Tiap melihatnya, aku selalu teringat dengan ibuku.
“Keberatan jika aku memelukmu?” tanya Bella seakan-akan bisa membaca pikiranku. Aku tidak akan menolak. Bagaimanapun juga Bella tidak akan mati jika kusentuh.
“Tentu.”
Bella tersenyum dan memelukku. Dengan rasa canggung aku membalas pelukannya. Kupastikan ia baik-baik saja. Dan ya, ia memang baik-baik saja. Bahkan ia mengeratkan pelukannya. Bella adalah vampir pertama kali yang memelukku. Dan bisa kurasakan bagaimana rasanya. Setidaknya aku bisa merasakan apa yang dirasakan Renesmee. Meskipun hanya satu.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya kenapa aku jadi lebih tersenyum pasca perbincanganku dengan Bella. Apalagi kedekatanku dengan Bella yang seperti sahabat dekat. Tapi mereka lebih suka melihatku seperti ini daripada yang sebelumnya. Meskipun begitu, aku tidak bisa merubah sikap dinginku terhadap Renesmee. Ia selalu berusahan membaur denganku dengan wajah berharap, namun aku selalu menghindar.
Sama seperti saat di sekolah. Aku tidak banyak bicara dengannya. Meskipun aku berusaha untuk berubah, aku tidak akan mau bergabung dengan teman manusiaku. Aku masih sering tertutup dan menyendiri. Kemajuanku hanyalah mengajak ngobrol temanku yang lain. Dan tentu saja itu adalah hal yang aneh bagi mereka.
“Hai, Jashlyn,” sapa Justin saat aku duduk sendirian di kafetaria. Aku mengalihkan pandanganku dari buku yang kubaca. Kupandang Justin yang berdiri di depanku.
“Hai,” balasku seperti biasa. Walaupun rasa aneh itu menghampiri lagi. Untung saja aku bisa mengontrolnya.
Tanpa kusuruh duduk, Justin sudah menempati kursi di depanku. “Aku dengar kau sekarang suka mengobrol dengan yang lain.”
“Memangnya kenapa?”
“Hal yang janggal. Aku tidak pernah melihatmu bicara dengan yang lain.” Justin memajukan kursinya ke depan. “Well, aku ingin lebih mengenalmu, Jash.”
“Untuk apa?” nadaku naik satu oktaf. Aku jadi mirip seperti Alice kalau begini.
“Bukannya aku bermaksud apa-apa. Aku ingin menjadi temanmu.”
Rasanya seperti ada yang menyetrumku saat ia mengatakan ‘teman’. Teman? Perasaan kecewa menghinggapiku tiba-tiba. “Itu adalah ucapan terbodoh yang pernah kudengar, Justin.”
“Oh ya?” Justin menaikkan kedua alisnya. “Kalau begitu kau orang yang paling bodoh.”
“Aku?” nada suaraku naik satu oktaf lagi. “Aku bukan orang yang bodoh.” Tapi vampir yang bodoh.
“Kau bodoh. Kau membiarkan dirimu dikasihani banyak orang karena kau tidak pernah memiliki teman.”
Aku mencerna ucapan Justin. Dan mengalihkan pandanganku saat mata hazelnya tertuju padaku. Aku tidak tahu apa ada orang yang mengasihaniku. Jujur saja aku paling benci dikasihani.
“Justin.” Aku kembali memandangnya setelah cukup menenangkan hatiku yang terasa tidak karuan. “Suatu saat nanti kau akan mengerti kenapa aku memilih untuk tidak berteman dengan siapapun.”
“Aku harap tidak untuk selamanya.”
Aku menghela napas pendek dan mengemasi barangku. Setelah itu kutinggalkan Justin yang masih memberikan tatapan tanya bercampur keheranan. Aku tidak menyukai obrolan seperti ini. Aku tidak bisa membohongi banyak orang lagi. Mereka tidak tahu siapa sebenarnya aku. Dan juga ceritaku yang menjadi misteri.
Tapi jujur. Aku merindukan masa laluku. Yang kudengar, hanya ada satu orang terdekatku yang masih hidup. Tapi aku tidak tahu dimana ia berada. Kuharap ia tidak akan terkejut jika melihatku datang dalam bentuk gadis berumur 17 tahun sedangkan ia sudah berumur 50 tahun lebih. Namanya terngiang di telingaku secara tiba-tiba. Jasmine. Jasmine. Jasmine.
“Hai, keponakanku yang kini lebih sering tersenyum!” Emmett melompat dari sofa dan menghampiriku saat aku memasuki rumah.
“Hai,” sapaku kikuk. “Kenapa?”
“Tadi sewaktu Alice membersihkan kamarmu, dia menemukan sesuatu.”
“Sesuatu?” Aku memberikan tatapan tanya kepada Emmett.
“Ya. Coba saja kau cek. Tadi dia mencarimu. Aku bilang saja kau belum pulang.”
Secepatnya aku berlari menuju kamarku. Aku takut kalau-kalau Alice menemukan benda yang sangat kujaga. Dan aku tidak mau jika ada orang yang menemukan benda itu.
Terlambat. Alice sudah menemukan benda yang seharusnya tidak boleh ditemukan oleh siapapun. Benda tersebut tergeletak di atas meja kecil. Aku meraihnya dan tiba-tiba saja tanganku bergetar. Aku berharap kalau Alice tidak sempat membaca buku harian lusuhku ini. Aku tidak mau ada yang tahu masa laluku seperti apa.
“Aku mendengar pikiranmu,” kudengar sebuah suara di belakangku. Aku membalikkan badan dan melihat Edward berada di dekatku. Aku tidak bisa membalasnya langsung. Aku hanya terdiam.
“Aku bisa membantumu mencarikan Jasmine. Itupun kalau kau mau,” lanjutnya.
“Aku ingin mendengar suaranya. Itu saja sudah cukup.”
“Seharusnya kau tidak perlu menutupi semua itu, Jash. Kami adalah keluargamu sekarang.”
Aku tidak menjawab lagi. “Aku butuh ketenangan.”
“Akan kukabulkan.” Edward tidak membalas lebih. Ia melenggang pergi dari kamarku. Kututup pintu kamarku menggunakan pikiranku. Agak pelan. Tidak seperti biasanya saat aku sedang sedih ataupun marah.
Aku tertunduk lesu. Kuhampiri ranjangku dan mendudukinya. Tanganku bergetar saat kupandangi lagi buku bersampul coklat yang kini berada di genggamanku. Rasanya aneh. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku menjamah buku tersebut.
Entah bagaimana bisa semua anggota keluarga Cullen mengetahui semua rahasia masa laluku. Aku menebak ini semua pasti ulah Edward. Atau kalau tidak Alice yang menceritakannya setelah membaca buku harianku. Mungkin saja.
“Jashlyn, kalau kau masih bersikap kurang terbuka pada kami, bagaimana kami bisa membantumu?” tanya Carlisle dengan nada bijaknya. Aku serasa seperti dipaku di tembok ketika seluruh mata tertuju kepadaku di ruang pertemuan.
“Aku tidak ingin melibatkan kalian dalam masalahku.”
“Kau bisa mengatakannya pada kami,” ujar Jasper.
Aku menaikkan sebelah alisku. “Well, mungkin tidak saat ini. Kalian harus bisa mengerti keadaanku.”
Ada alasan mengapa aku tidak mau mengatakan segalanya pada mereka menyangkut masa laluku. Dan keadaanku yang akan terancam jika aku banyak bicara mengenahi hal tersebut.
Edward menatapku dengan tatapan anehnya.
“Jangan pernah berusaha membaca pikiranku,” sautku cepat dengan nada ketus. Aku harus pintar-pintar mengalihkan pikiranku. Seperti yang diajarkan oleh Jane kepadaku. Tapi hal itu jarang berhasil kulakukan.
“Aku tidak,” elak Edward.
“Kau bisa menceritakannya pada kami. Sedikit saja sudah berarti,” lanjut Esme.
“Kalau aku bilang tidak, ya tidak! Jangan pernah memaksaku!”
Alice mengerutkan keningnya. “Sepertinya Jashlyn tidak ingin mengatakannya saat ini.” Ia menganggukkan kepala ke arah Carlisle dan Esme.
“Baiklah, kau boleh pergi.” tutur Carlisle.
Aku menarik napas panjang dan berdiri. Kulangkahkan kakiku menghindari meja oval tersebut sampai akhirnya aku berhenti saat Bella memanggil namaku.
“Jashlyn.”
Aku menoleh ke arahnya. “Ada apa? “
“Ini untukmu.” Bella berdiri dan menyodorkan secarik kertas untukku. Aku menerimanya dengan rasa penasaran. Dan setelah itu kulanjutkan lagi langkahku menuju ke atas. Kudengar bisikan-bisikan dari arah meja oval saat aku sudah sampai di bawah tangga.
Di dalam kamar, aku mulai membuka secarik kertas yang diberikan oleh Bella tadi. Betapa terkejutnya aku saat melihat barisan nomor telepon yang tertera di kertas tersebut. Dan terdapat nama Jasmine Helgar di atasnya.
Dengan diliputi rasa penasaran aku mencoba menghubungi nomor tersebut. Saat deringan ke-3, kudengar sebuah suara menyahut dari dalam.
Halo kediaman keluarga Helgar.”
Meskipun aku sudah tidak pernah bertemu dengan Jasmine, aku masih bisa mengenali suara merdunya. Itu adalah Jasmine.
Nadaku terdengar bergetar. “Aku sedang mencari Jasmine O’Sullivan.”
Aku sendiri.”
Benar! Ia adalah Jasmine!
“Apa kau mengenal Jashlyn Brown?”
Ya, dia sahabatku.” Kudengar suara Jasmine berubah seperti ingin menangis. “Aku mendengar kabarnya kalau dia sudah meninggal saat diserang binatang buas di hutan. Dan sampai saat ini aku tidak tahu dimana dia berada. Aku harap dia masih hidup. Oh, maaf. Ngomong-ngomong, siapa kau?”
Oh Tuhan... tidak seharusnya aku menghilang tanpa memberikan kabar kepada orang yang kusayangi. Apalagi Jasmine, sahabat karibku. Aku benar-benar merindukannya dan berharap bisa bertemu dengannya. Namun entah kenapa aku mengurungkan niatku saat mengingat siapa yang sedang mengejarku saat ini. Dan bisa kurasakan ia semakin dekat denganku. Ia lebih kuat dari Volturi. Aku bahkan tidak bisa menyimpan pikiranku darinya. Segera kututup teleponnya. Aku benar-benar bingung. Siapapun, tolonglah aku!


To be continued...


*Penasaran kan sama kelanjutan ceritanya?
*Ada apa sih dengan masa lalu Jashlyn? Siapa yang mengejarnya?
*Tetap aja baca cerita aneh ini sampai selesai. Yah itung-itung ngusir kebosanan
Hahahahahahaha


Loveyta Chen

Minggu, 21 Agustus 2011

Hey! There are Wizards in Forks! (English Version) -Twilight vs Harry Potter-

RENESMEE’POV
At first Renesmee didn’t care about the new students who came from England. But she felt there was some weirdos happened between them. Renesmee want to knew it. What was the secret those hidden by them.”

-oOo-
I was sure there was something wrong with my new friends. They often did awkward things during the class was begun. Not only those, so many weird events those happened and they always been there looks liked they wrapped with those weird events. I ever knew Albus Potter shown a wand and on the top there was a bright light ran off. At the first, I thought he brought a flashlight. But I was wrong when I looked him nearly.
Even I ever found out Rose Weasley said something those made a thing flew near of her. I was sure Potter and Weasley family aren’t liked a simple people. Liked me. Might be they are another species.
Hi, Renesmee Cullen,” Rose said, speard my speculation. “Can I borrow your English book? I had no yet to write the last lesson today.”
I stuttered to answered her. But lastly I took out my English book of my bag. And then I gave it to her. “It is.”
Thanks,” Rose smiled and left my seat. She joined with Potter brothers. They always be together. I rarely find them walk alone.
When school had finish, I heard conversation in the Music class. With want to know felt, I precipitated the mysterious conversation. I saw there were 3 peoples there. James Potter, Albus Potter, and Rose Weasley.
I’m sure that Profesor MacGonagall’s clue is correct. Here the place,” James said.
In this map, there is a room which always be protected by witchcraft powers,” Rose continued. She appointed the map which on her hand. “There is sign in here. This shown where the place of the wand. Definitely, this is the hiding-place.”
May be,” Albus said.
We gotta checking out there now.” Rose rolled those old parchment and put it into her backpack which on her back. “I hope there are no muggles seen us.”
James flicked his fingers. “We can go out with no one knows. Dad gave me his unvisible robe. We can to slink in.”
Nope. I feel school inside to the quiet situation.”
There is someone spy on!” Albus yelled. I stuttered and immediately avoided of those place.
Petrificus Totalus!” Rose’s voice shrilled.
I don’t know why my body was rigid and couldn’t movement unexpected. I was like sculpture in this place. Potter brothers and Rose approached me. They viewed each other. I couldn’t say anything exept silent.
Rose, you’re already use witchcrafts for million times out of Hogwarts,” James said.
Rose answered with eyebrows getting up. “It is for Hogwarts’s importance.” Rose moved to looked me. I saw pityful on her face when she looked me. “Don’t worry. For a moment you will come back like a fist time.”
We can ask her to help us,” Albus said. Rose moved her head in other side liked gave question looks ‘what did you mean?’ “Yes. We can ask her to bring us in our destination room. She is an old student in here, is she? She definitely know about this school more than us.”
Oh, I get it.” Rose smiled to me, sweetly. “I’m sorry I have already involved you, Renesmee.”
If I could speak right now, I would bullying them. What did they mean make me like this? I was suspicious, they certainly aren’t simple peoples. They were definitely wizard groups. I thought wizard just has been within fairy tales. Hah! If they knew those I’m vampire generation, what was their reaction?
My body back to be normal after how so long I was being rigid for several minutes. I was fortunately could movement my body again. I felt so sick and painful. Might be an effect of the rigid. Nah! It’s time to bullying 3 crazy wizards in front of me.
Ah! You come back! Haha. I’m so happy,” Rose said. Her intonation sounds happily.
Who guys are you?! What would you do in here?” I asked with louds intonation.
We’re sorry before,” James replied. “We came here with kind intention. We won’t to annoying. We just need a thing that we need.”
Rose and Albus nodded together.
What is it?”
Ehm... so hardly to explicity to the muggle like you,” Albus answered.
Come on! Just say it. May be I can help you.”
They viewed each other. I hope they would open to me. I just would to know it too much. Would to know what was their species. Might be I had true asumption. They were definitely wizard groups who have destinations why to come here.
We looking for a place which near of girl’s dressing room,” Albus continued.
There is a room. Warehouse.”
Okay, we gotta there!” Rose yelled happily and pulled my hand went to the place those I mentioned. James and Albus followed behind us. I didn’t know should I join with their craziness. But it was seems so passionate if I joined them.
We had arived in the warehouse which near of girl’s dressing room. The door had blocked and I didn’t know where was the key. But Albus went forward several steps and muttered a word.
Alohomora,” he muttered.
I didn’t know what was those purpose. As I know right now, those word could open those blocked door. I even didn’t wink on a second.
Come on!” Rose preceded her friends. She started to entered the warehouse and spent a wand. “So dark. Nox.”
Bright light ran off on the top of her wand. Made me more shocked. James and Albus followed Rose with composed light on the top of their wand. I was adjacent Rose, afraid if there was unexpected thing in here.
Accio Vodgar!” Rose yelled half whispered.
Vodgar wand won’t to come with that charm, Rose Weasley.”
Yes I know. I just trying, James!”
They stopped. And had one’s back to each other, to form a circle. I was following what they did. Definitely there was a weird thing which hampered us. I could feel it.
I can’t believe it this place has already protected by witchcraft,” Albus said. “May be it will be protected Vodgar wand.”
James and Rose agree with Albus’s statement. They getting ready to attack if there was something gonna attack them. Whereas I just took shelter behind them because I don’t have witchcraft ability like them.
Stupefy!” Rose yelled when some bats flew and attack us. “This is black witchcraft!”
They dispersed for protected them selves and give paid back. Whereas I tried to caught the bats with my vampire usual abilities that I have. Fortunetly I have the bestest usual abilities than other vampires. I didn’t has difficulty.
Renesmee, in your backside!” James yelled.
I turned my head and a big bat would to crush me.
Confringo!” Albus spent his wand fastly and made those bat be burned. I breathe relieved.
Those bats already die. We assembled again and arranged our breathe. Rose viewed around her. Hope they wouldn’t have attacks again to hampered us.
Wow, you’re so strong,” Albus praised and watched me.
Thanks,” I replied with big smile.
It’s better if we disperse to get the wand,” James said. And others nodded and started to disperse.
Wait!” I yelled unexpected, made they stopped. “I didn’t know what thing that you need to find.”
Join with Albus,” Rose replied.
Me?” Albus repeated.
Don’t throw the time. Let’s go.” James started to left us. Whereas Rose chuckled before she started to research. And then she walked out left us.
Me and Albus in the quiet situation when we looked for those wand. I hate this situation. We search those wand between cupboards which near of the door.
This warehous is so wide,” Albus said.
Definitely,” I replied short. My eyes directed to something on the cupboard. I walked out to the cupboard and knew what I found. “Ehm... Albus, what like Vodgar wand?”
Albus stare at me. “Like mine. But that wand is white and taken in the white long box.”
Is it like that?” I appointed where there was a white long box on the cupboard in front of me.
Albus look at those box with bigger eyes and then stood beside me. “Yeah! That’s it!” He tried to closed the box and then tried to reach the box, although useless.
I will try.”
I went forward and push the cupboard in front of me powerful. Those cupboard collaps and I took the box which fell near of me. I came back and I gave it to Albus. Albus accepted that box. He still didn’t believe with his sight.
How did... you do?” he asked still shocked.
Oh God!” Rose yelled unexpected, came with James. She watched my confusion.
Who did make this?” James stared at her brother who was still shocked. Albus appointed me. “Renesmee?”
Yes, I did,” I replied so proud. “It’s better if we can go out from this place before someone catch us. Tell it later.”
Rose winked for several times. “Well, we can’t leave this place with this situation.” Rose spent her wand again and started to swung her wand. Magicaly, this place which looked so disorder just because little battle, came back to be oderly.
I love magic,” I whispered astonished.
Let’s we go,” Rose said after she has finished her job.
Fastly we went out from the warehouse. Fortunately, no one catches us. We walked out of school and sat down in the school garden. Rose and Potter brothers looked those wand which they got.
We finished our job!” Rose yelled happily and made aplouses.
Now, tell me, who are you? I will tell you who am i. But don’t tell everyone,” I said.
You too,” James replied.
I nodded.
We’re wizards and witch who come from Hogwarts,” James started. “Hogwarts is wizardry and witchcraft school in London, England. We have a job from pur head master to found out Elder wand’s brother. Elder wand is stronger wand lenght of history, it’s the late of our head master’s wand before he died.”
But, why should you find out the wand in here?” I asked unsatisfied. “Where are you get information that said the wand is here?”
Of curse from our head master, Profesor MacGonagall,” Albus replied. “We just have job for found out the wand. I heard, a witcht who was muggle born left the wand here when the war between great wizards and Voldemort, begun. She hiden it in the far place.”
So many things I have no yet to understanding. Like what is muggle, how are they spell the charms, etc. I would to ask anymore. But Rose interrupted me.
Now, tell us. Who are you?”
I’m half human-vampire.” I chuckled after saw their reaction. “In here, live of some vampires. I was born by a vampire and a human. I’m hybrid.”
I don’t believe it,” Albus said.
Well, at first I didn’t trust wizards. Now, I trust it. And you should gonna trust me.”
Rose and potter brothers viewed each other.
World is gonna be crazy,” Albus said to Rose and James.
Okay, we finished our job. Rose...” James stared Rose meanful. I didn’t know what was it mean.
Rose spent her wand and swung it in front of me.
What would you do?” I asked.
Obliviate,” Rose said when she swung her wand.
Suddenly I felt dizzy and my mind had gone. I couldn’t ignore when an energy cames to me. I felt so weird. I didn’t remember what was going on with me, liked those part was deleted by something. But I still could hear indistinct.
I had already delete her mind in those part.”
Good job, Rose. We should going out. Aparate.”
I got my aware. I was in the garden but I don’t know what was happen to me. I felt so weird. And I was confused.
In the next morning, awkward event has come. Potter brothers and Rose Weasley didn’t came to school. My friends said that they came back to England to school and stayed there. I was confused. They still had school 1 weeks in Forks. But they already went to home. Hm... whereas I like Albus, but I don’t know why. But I felt ther was weirdos happened. I felt like lost half of my mind. Ah, might be just my feeling.

FIN

*I’m sorry if I have bad grammar ^_^
*This is my 1st fanfic use english. LOL

Loveyta Chen

Hey! Ada Penyihir di Forks! (Indonesian Version) -Twilight vs Harry Potter-


RENESMEE’POV
Awalnya Renesmee tidak terlalu memedulikan kedatangan murid baru yang datang dari Inggris itu. Tetapi ia merasakan keanehan yang terjadi di antara mereka bertiga. Renesmee jadi penasaran. Apa yang disembunyikan oleh ketiga teman barunya itu.”

-oOo-

Aku yakin kalau ada yang salah dengan teman-teman baruku ini. Mereka sering melakukan hal-hal yang janggal di saat pelajaran berlangsung. Tidak hanya itu, banyak sekali kejadian-kejadian aneh yang terjadi dan selalu ada mereka seolah mereka terlibat akan hal aneh tersebut. Pernah aku memergoki Albus Potter mengeluarkan sebuah tongkat dan di ujungnya mengeluarkan cahaya terang. Awalnya aku kira ia membawa senter. Tetapi dugaanku salah saat aku melihatnya lebih jelas.
Bahkan pernah aku memergoki Rose Weasley sedang mengucapkan sesuatu yang membuat sebuah benda melayang-layang di dekatnya. Aku yakin keluarga Potter dan Weasley ini bukan sembarang orang. Seperti aku contohnya. Mereka pasti spesias lain.
Hai, Renesmee Cullen,” sapa Rose lembut membuyarkan lamunanku. “Bolehkah aku meminjam buku bahasa Inggrismu? Aku belum mencatat pelajaran terakhir hari ini.”
Aku kelagapan menjawabnya. Namun akhirnya kukeluarkan juga buku bahasa Inggris dari dalam tasku. Lalu kuserahkan buku terebut kepada Rose. “Ini.”
Trims.” Rose tersenyum dan meninggalkan bangkuku. Ia bergabung dengan Potter bersaudara. Mereka bertiga selalu bersama-sama. Jarang aku menemukan mereka berjalan sendirian.
Sepulang sekolah aku mendengar sebuah percakapan di dalam kelas musik. Dengan rasa penasaran aku pun mengendap-endap untuk menguping pembicaraan yang misterius itu. Kulihat ada 3 orang di dalam ruangan itu. James Potter, Albus Potter, dan Rose Weasley.
Aku yakin kalau petunjuk dari Profesor MacGonagall benar. Di sini tempatnya,” kata James.
Menurut peta ini, ada sebuah ruang yang selalu dilindungi oleh kekuatan sihir,” lanjut Rose. Ia menunjuk peta yang dipegangnya. “Ada tanda di sini. Ini menunjukkan letak tongkat tersebut. Pasti di sini letak persembunyiannya.”
Mungkin,” timpal Albus.
Kita bisa mengeceknya ke sana sekarang.” Rose menggulung perkamen kusam tersebut dan memasukkannya ke dalam tas ransel yang disangganya. “Mudah-mudahan para muggle tidak melihat kita.”
James menjentikkan jari. “Kita bisa pergi dengan tidak ketahuan. Dad memberikanku jubah tak terlihatnya. Kita bisa menyelinap.”
Tidak usah. Sepertinya sekolah dalam keadaan sepi.”
Ada yang mengintip!” seru Albus. Aku kalagapan dan segera menghindar dari tempat itu.
Petrificus Totalus!” suara Rose melengking tinggi.
Entah kenapa tiba-tiba tubuhku serasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Aku mematung di tempat. Potter bersaudara dan Rose mendekatiku. Mereka saling berpandangan. Aku tidak bisa mengucapkan satu katapun. Yang kulakukan hanya diam mematung.
Rose, kau sudah puluhan kali menggunakan sihir di luar Hogwarts,” tutur James.
Rose membalasnya dengan alis terangkat. “Setidaknya ini demi kepentingan Hogwarts.” Rose beralih menatapku. Terlihatlah raut wajah iba saat ia menatapku. “Tenang saja. Sebentar lagi kau akan kembali seperti semula.”
Kita bisa meminta bantuannya,” kata Albus. Rose menelengkan kepalanya ke satu sisi seperti memberikan pertanyaan ‘apa maksudmu?’. “Ya kita minta dia mengantarkan kita ke ruang yang kita tuju. Dia adalah murid lama di sini kan? Dia pasti mengenal sekolah ini lebih dari kita.”
Oh, I get it.” Rose tersenyum ke arahku manis. “Maafkan aku sudah melibatkanmu, Renesmee.”
Kalau saja aku bisa bicara, akan kumaki-maki mereka bertiga. Apa maksudnya membuatku jadi seperti ini? Aku jadi curiga, mereka pasti bukan manusia sembarangan. Mereka pasti kumpulan penyihir. Aku kira penyihir hanya ada di dalam dongeng-dongeng. Hah! Kalau saja mereka tahu kalau aku adalah keturunan vampir, apa reaksi mereka?
Tubuhku kembali normal setelah beberapa lamanya. Aku bersyukur bisa menggerakkan tubuhku lagi. Rasanya sakit dan pegal. Mungkin efek dari kekakukan tadi. Nah! Inilah saatnya untuk mengomel 3 penyihir gila di depanku ini.
Ah! Kau kembali. Haha. Senang rasanya,” ujar Rose. Nadanya terdengar sangat senang.
Siapa kalian ini?! Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyaku dengan nada yang tinggi.
Sebelumnya kami minta maaf,” balas James. “Kami kemari dengan maksud yang baik. Kami tidak ingin mengganggu. Kami hanya membutuhkan sesuatu yang kami perlukan.”
Rose dan Albus mengangguk bebarengan.
Apa?”
Ehm, sulit dijelaskan untuk muggle sepertimu,” jawab Albus.
Ayolah katakan saja. Barangkali aku bisa membantu kalian.”
Mereka bertiga saling berpandangan satu sama lain. Kuharap mereka mau terbuka denganku. Aku terlanjur penasaran sih. Aku ingin tahu sejenis apa mereka ini. Mungkin benar dugaanku. Mereka pasti kumpulan penyihir yang memiliki tujuan datang kemari.
Kami sedang mencari sebuah tempat yang dekat dengan ruang ganti anak perempuan,” lanjut Albus.
Ada satu ruangan. Gudang.”
Kalau begitu ayo kita ke sana!” Rose berseru girang dan menggandeng tanganku menuju ke tempat yang kusebutkun. James dan Albus mengikuti di belakang. Aku tidak tahu apa aku harus ikut dengan kegilaan mereka. Tetapi kelihatannya sangat seru kalau aku bergabung dengan mereka.
Kami sampai di gudang dekat ruang ganti anak perempuan. Pintunya dikunci dan aku tidak tahu dimana kuncinya. Tetapi Albus maju beberapa langkah dan menggumamkan sebuah kata.
Alohomora,” gumamnya.
Aku tidak tahu apa maksudnya itu. Yang kutahu saat ini, kata tersebut dapat membuka pintu yang terkunci itu. Aku bahkan tidak berkedip sedetikpun.
Ayo masuk!” Rose mendahului kedua kawannya. Ia mulai memasuki gudang dan mengeluarkan sebuah tongkat. “Gelap sekali. Nox.”
Cahaya terang keluar dari ujung tongkatnya. Membuatku lebih terkejut lagi. James dan Albus mengikuti Rose dengan menciptakan cahaya dari ujung tongkat mereka masing-masing. Aku berdempetan dengan Rose, takut kalau saja ada sesuatu yang tidak terduga di dalam sini.
Accio Vodgar!” seru Rose setengah berbisik.
Tongkat Vodgar tidak akan datang dengan mantera itu, Rose Weasley.”
Ya aku tahu. Aku hanya mencoba, James!”
Mereka berhenti. Dan saling membelakangi, membentuk lingkaran. Aku mengikuti apa yang mereka lakukan. Pasti ada hal yang aneh yang akan menghalangi kami. Aku bisa merasakan itu.
Aku tidak percaya tempat ini sudah dilindungi sihir,” ujar Albus. “Mungkin untuk melindungi tongkat Vodgar itu.”
James dan Rose sependapat dengan Albus. Mereka bersiap-siap melakukan penyerangan jika ada serangan mendadak. Sedangkan aku hanya berlindung di balik mereka bertiga karena aku tidak memiliki kemamuan sihir seperti mereka.
Stupefy!” seru Rose saat beberapa kelelawar terbang dan mulai menyerang kami. “Ini sihir hitam!”
Mereka berpencar untuk melindungi diri dan melakukan penyerang balik. Sedangkan aku berusaha menangkap kelelawar-kelelawar itu dengan kemampuan dasar vampir yang kumiliki. Untung saja aku dianugerahi kemampuan dasar yang melebihi vampir biasa. Aku tidak mengalami kesulitan yang sangat.
Renesmee, belakangmu!” seru James.
Aku menoleh ke belakang dan seekor kelelawar besar hendak menghantamku.
Confringo!” Albus mengayunkan tongkatnya secepat mungkin dan membuat kelelawar tersebut terbakar. Aku menghela napas lega.
Kelelawar-kelelawar itu sudah teratasi. Kami berkumpul kembali dan mengatur napas yang memburu. Rose mengedarkan pandangan di sekitarnya. Berharap tidak ada lagi serangan mendadak yang akan menghambat mereka menemukan apa yang mereka cari.
Wow, kau sangat tangguh juga,” puji Albus menatapku.
Trims,” balasku dengan cengiran lebar.
Sebaiknya kita berpencar untuk mendapatkan tongkat itu,” usul James. Yang lain mengangguk setuju dan mulai memencar.
Tunggu!” seruku tiba-tiba, membuat mereka bertiga berhenti. “Aku tidak tahu seperti apa benda yang kalian cari.”
Ikutlah dengan Albus,” balas Rose.
Aku?” ulang Albus.
Jangan buang-bunag waktu. Cepat bergegas.” James mulai meninggalkan kami. Sedangkan Rose tertawa kecil dulu sebelum memulai pencarian. Setelah itu ia berlalu pergi.
Aku dan Albus dalam keadaan hening saat kami berdua mencari tongkat itu. Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Kami mencari benda tersebut di antara rak-rak yang diletakkan dekat dengan pintu.
Gudang ini luas sekali,” celoteh Albus.
Memang,” balasku singkat. Mataku terpaku pada sesuatu yang ada di atas rak. Aku lebih mendekatinya dan sadar dengan apa yang kutemukan. “Ehm... Albus, seperti apakah tongkat Vodgar itu?”
Albus menoleh ke arahku. “Seperti punyaku, bedanya warnanya putih dan diletakkan di dalam sebuah kotak panjang berwarna putih.”
Apa seperti itu?” Aku menunjuk ke arah dimana tersembul ujung sebuah kotak kayu berwarna putih di atas rak di depanku.
Albus membulatkan matanya dan mendekatiku. “Yeah! itu dia!” Ia lebih mendekat dan berusaha untuk meraih tongkat itu. Namun sepertinya usahanya sia-sia saja. “Aduh! Susah sekali!” Ia kembali untuk mencoba meraihnya, namun sia-sia saja.
Biar aku saja.”
Aku maju dan mendorong rak di depanku itu dengan sekuat tenaga. Rak tersebut berhasil roboh dan kuambil kotak putih yang kini terjatuh di dekatku. Aku kembali ke tempat Albus berdiri. Kuserahkan kotak itu kepadanya. Albus menerima kotak tersebut. Ia mengangakan mulut lebar dan masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan tadi.
Bagaimana kau bisa... melakukan itu?” tanyanya masih terkesiap.
Astaga!” pekik Rose yang tiba-tiba datang bersama James. Ia memandangi kekacauan yang kubuat tadi.
Siapa yang melakukan itu?” James melirik adiknya yang masih terkesiap. Albus menunjukku. “Renesmee?”
Ya aku,” balasku bangga. “Sebaiknya kita secepatnya pergi dari sini sebelum ada yang memergoki kita. Nanti saja ceritanya.”
Rose mengerjapkan mata. “Well, kita tidak akan meninggalkan tempat ini dalam keadaan seperti ini.” Rose kembali mengeluarkan tongkatnya dan mulai mengayunkannya. Ajaib sekali keadaan yang porak poranda akibat kekacauan yang kubuat dan juga akibat dari pertarungan tadi, kembali rapi seperti semula.
I love magic,” bisikku takjub.
Ayo kita pergi,” ujar Rose setelah berhasil menyelesaikan semuanya.
Secepatnya kami keluar dari gudang. Beruntung, tidak ada yang memergoki kami. Kami berjalan menuju keluar sekolah dan duduk di taman depan. Rose dan Potter bersaudara memandangi tongkat yang mereka dapatkan.
Tugas kita selesai sudah!” tukas Rose girang seraya bertepuk tangan.
Sekarang jelaskan padaku siapa kalian. Aku akan menceritakan siapa aku. Tetapi dengan syarat, jangan memberitahu siapapun,” kataku.
Kau juga,” balas James.
Aku mengangguk.
Kami adalah penyihir yang datang dari Hogwarts,” James memulai. “Hogwarts adalah sekolah sihir yang terletak di London, Inggris. Kami mendapatkan tugas dari kepala sekolah kami untuk mencari saudara dari tongkat Elder. Tongkat Elder adalah tongkat sihir terkuat sepanjang sejarah, dimiliki oleh mendiang kepala sekolah Hogwarts yang sudah meninggal.”
Memangnya kenapa kalian mencari tongkat itu di sini?” tanyaku belum puas. “Dari mana kalian mendapatkan informasi kalau tongkat itu ada di Forks?”
Tentu saja dari kepala sekolah kami, Profesor MacGonagall,” balas Albus. “Kami hanya ditugaskan untuk mengambilnya saja. Menurut cerita, seorang penyihir kelahiran muggle meninggalkan tongkat ini di sini saat perang antara penyihir hebat melawan pangeran kegelapan, Voldemort, pecah. Ia menyembunyikannya di tempat yang jauh.”
Banyak hal yang masih tidak kumengerti. Seperti apa itu muggle, bagaimana mereka bisa melafalkan mantera, dan sebagainya. Aku ingin bertanya lebih detail lagi tetapi Rose menyela.
Sekarang, ceritakan pada kami siapa kau ini?”
Aku adalah manusia setengah vampir.” Aku meringis setelah melihat ekspresi ketiga penyihir itu. “Di sini hidup beberapa jenis vampir yang mendiami Forks. Aku lahir dari hasil pencampuran antara manusia dan vampir. Aku hibrida.”
Aku tidak percaya,” Albus berkoar.
Well, kalau aku yang sebelumnya tidak mempercayai adanya penyihir dan akhirnya percaya, sebaiknya mulai sekarang kalian harus mempercayai adanya vampir.”
Rose dan Potter bersaudara saling melemparkan pandangan heran.
Dunia benar-benar sudah gila,” dengus Albus kepada James dan Rose.
Oke, tugas kami sudah selesai. Rose...” James melirik penuh arti ke arah Rose. Aku tidak tahu apa maksud lirikannya itu.
Rose mendekatiku dan mengayunkan tongkatnya di depanku.
Apa yang akan kalian lakukan?” tanyaku.
Obliviate,” ujar Rose seraya mengayunkan tongkatnya.
Tiba-tiba saja aku merasa pusing dan pikiranku kosong. Aku tidak bisa menolak saat sebuah energi menghampiriku. Rasanya benar-benar aneh dan kebas. Aku bahkan tidak mengingat beberapa bagian dari apa yang kukerjakan tadi, seolah bagian itu dihapuskan oleh sesuatu. Namun aku masih bisa samar-samar mendengar.
Ingatannya dibagian tadi sudah kuhapuskan.”
Kerja yang bagus, Rose. Sebaiknya kita secepatnya pergi dari sini. Aparate.”
Dan setelah aku tersadarkan dari kekosongan pikiran tadi, aku sadar bahwa aku berada di sebuah taman. Bahkan aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan. Aku jadi bingung sendiri.
Esok paginya, hal aneh terjadi. Potter bersaudara dan Rose Weasley tidak kelihatan batang hidungnya. Kata anak-anak, mereka kembali lagi ke Inggris untuk tinggal dan bersekolah di sana. Aku jadi bingung. Padahal kan mereka baru 1 minggu bersekolah di Forks. Tapi mereka sudah pergi lagi. Hm... padahal kan aku mulai menyukai Albus, entah kenapa. Tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku merasakan ada bagian yang hilang dari memori otakku. Ah, mungkin cuma perasaanku saja.

FIN
-oOo-

*Cerita aneh perpaduan antara Twilight dengan Harry Potter. Mwahahahaha ^_^
Maklumi aja kalo ceritanya sangat aneh ._.v
*Mantera diatas diambil dari mantera Harry Potter
*Ada nama yang dikarang sendiri. Contohnya tongkat Vodgar. Hahaha! Itu hanya fiksi -___-
*Jangan capek deh baca cerita gaje gua. Hahaha!

Loveyta Chen

Sabtu, 20 Agustus 2011

My Name is Lola (Damn Event Ever) Two

GOOD. Aku melewati hari-hari di sekolah baruku ini seperti manusia normal, itu kabar baiknya. Kabar buruknya, Sadam sudah tau kalau aku satu sekolah dengannya. Ini semua gara-gara kesalahan Renata. Well, Renata nggak sepenuhnya bersalah. Dia hanya nggak tau bagaimana hubunganku dengan Sadam. Waktu itu Renata nggak sengaja bertabrakan dengan Sadam. Dan kebetulan aku bersamanya. Padahal aku berniat kabur tapi Renata berhenti untuk meminta maaf. Kututup wajahku menggunakan kedua telapak tanganku. Dan akhirnya Sadam tau. Dari cincin yang kupakai. Dia memang selalu menyadari apapun yang kupakai.
Sampai akhirnya aku berhasil lari sembari menggandeng tangan Renata saat Sadam berteriak memanggil namaku keras-keras. Setelah kejadian itu aku baru menceritakan semuanya pada Renata dan dia minta maaf karena sudah membuat Sadam menyadari keberadaanku. Sejak itu juga kami semakin akrab.
Well, lo udah dapet teman berapa? Gue lihat cuma satu ya?” tanya Elin saat dia berkunjung ke rumahku. Hari ini dia membawa DVD film terbaru. Judulnya nggak tau sih… abis ribet banget.
“Emang kenapa kalau gue cuma punya satu teman?” tanyaku balik seraya menekan tombol ‘OPEN’ di DVD. Lalu memasukkan kaset Elin ke dalam DVD.
“Ya… lo harus mencari teman lebih dari satu, La. Kalau nggak, entar lo bakalan bosan dan nggak gaul.”
Aku memencet tombol Play pada remot DVD dan film pun terputar. “Emang lo punya teman berapa?”Aku duduk di samping Elin sambil menikmati keripik yang baru kuambil dari dalam lemari penyimpan makanan.
“5 anak. Itupun mereka anak-anak orang kaya loh! Kayak Zevana. Orangtuanya punya bisnis sampai ke Inggris. Terus Erina, katanya sih bokapnya bekerja sebagai tentara gitu. Uhm… ada juga si kembar Mona dan Vivian, orangtuanya punya restoran di Perancis dan Itali. Oh ya! Itu, si Emily. Dia keturunan Spanyol-Amerika yang baru pindah ke Indonesia 3 tahun yang lalu.”
Aku membuka mulut lebar-lebar. Hebat banget si Elin ini sampai-sampai berteman dengan anak-anak orang kaya yang luar biasa. Tapi nggak heran juga sih. Elin emang pandai bergaul. Apalagi dia cantik dan orang berada. Orangtuanya kan punya butik sampai ke Australia dan penghasilan mereka ‘lumayan’. Nggak kayak aku. Orangtuaku nggak sekaya Elin. Papa hanya punya satu restoran kecil-kecilan. Dan mama bekerja jadi guru privat musik. Elin punya 2 mobil yang keren. Kalau aku cuma punya satu mobil. Itupun sering masuk bengkel. Tapi aku bersyukur banget masih bisa sekolah. Di sekolah elit lagi.
“Wow. Hebat banget lo. Gue baru kenal Renata. Anaknya asik banget. Biarpun pendiam, tapi dia bisa ngehibur gue.” Aku jadi nggak konsen nonton film yang dibawa Elin. Kuceritakan Renata secara detail. “Orangtuanya sih ‘lumayan’ juga. Mereka sibuk bekerja. Aku nggak tau pekerjaan mereka apa. Tapi Renata bilang orangtuanya selalu berada di avokad avokad alpukat atau apalah itu.”
“Oh… Advokad. Berarti orangtua Renata berprofesi jadi pengacara.”
Aku mengangguk-angguk. Agak setuju juga dengan Elin. Selama ini Renata belum menceritakan keluarganya secara detail. Padahal aku sudah menceritakan keluargaku padanya.
Selanjutnya waktu kami habiskan untuk mengamati film yang diputar. Astaga… film tembak-tembakan ternyata. Aku paling mual kalau melihat film seperti ini. Jadi kuputuskan untuk berbaring di depan layar tv sembari memejamkan mata dan menyumpal telingaku dengan headphone dari i-Podku. Tanpa kusadari aku tertidur pulas.
xoxoxo
“LOLA! Sarapan dulu!”
“Nggak, Ma! Lola udah telat nih!” aku segera berlari keluar.
“Bareng papa, nggak?” tawar papa.
“Nggak. Mobil papa selalu mogok. Entar Lola jadi makin telat.” Aku memandang ke arah arlojiku yang sudah menunjukkan pukul 06.45. “Aduh… udah ah Lola berangkat dulu. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam…” balas mama dan papa serentak. Memandangiku yang tergopoh mengayuh sepeda gunungku.
Entah kenapa Elin udah nggak mau naik sepeda gunungnya lagi ke sekolah. Dia lebih sering diantar jemput oleh mobil temannya. Kalau nggak gitu dia naik mobil pribadinya. Aku nggak mempermasalahkan hal itu. Yang kupermasalahkan adalah dia nggak mengajakku bareng seperti biasanya. Dan sekarangpun dia udah sibuk sendiri dengan urusannya. Kalau nggak ada acara sama teman-teman barunya, baru dia datang ke rumahku. Ugh…
Aku hampir aja telat. Jadi saat gerbang hendak ditutup aku semakin mempercepat kayuh sepedaku sehingga satpam yang menjaga gerbang hampir terserempet.
“Hati-hati, Neng!”
“Sori, Pak!” balasku lantang. Kuparkirkan sepedaku seperti biasanya di parkiran sekolah. Berjejeran dengan sebuah mobil sport yang sepertinya mahal banget. Sejak masuk hari kedua sekolah, aku memang membawa sepeda sendiri. Soalnya Elin kan udah nggak lagi bareng sama aku. Well, I comes alone.
“Lola? Lo terlambat ya? Nggak seperti biasanya.” Pagi-pagi Renata udah menginterogasi. Aku mengangkat bahu.
“Iya nih. Gara-gara semalem gue begadang. Nggak bisa tidur. Soalnya siangnya gue udah tidur.”
“Oh… Eh, lo nggak ikutan ekstrakulikuler?”
Aku memandang Renata dengan pandangan selidik. “Kenapa emangnya?”
“Gue mau ikutan pemilihan anggota baru tim cheers. Lo mau ikutan?”
Cheers? Hell-ooo??? Lo tau kan siapa gue???
“Nggak ah. Nggak tertarik.” Aku mengeluarkan buku Bahasa Indonesia saat bel berdering. “Lagipula gue males beraktifitas kayak apapun. Membuang-buang waktu aja.”
“Eh… siapa bilang? Justru tanpa adanya ekskul lo malah kayak orang mati. Nggak bisa maju, selalu jalan di tempat.”
“Apa hubungannya ekskul sama orang mati?”
Renata mendengus kesal. Kemudian dia memberikan sebuah lembaran kertas. Aku menyambarnya dengan malas. “What the hell?” Kupandang Renata malas sambil menunjuk kertas di tanganku itu.
“Lo tertarik sama sastra nggak? Lo pernah bilang sama gue kalau lo suka banget baca novel. Lo ikutan tim mading ya.”
“Suka baca novelnya bukan berarti gue suka sastra. Gue cuma suka membayangkan imajinasi orang aja. Gue nggak mau ikutan mading atau apalah.”
Kali ini Renata benar-benar kesal denganku. Yah… mungkin dia pikir aku ini kuno atau apalah.
“Pokonya lo harus ikutan ekskul. Entah cuma dua atau satu! Harus!”
Aku memutar mataku dengan kesal. “Oke. Ada ekskul yudo apa nggak? Atau wushu gitu? Kalau ada gue bakalan ikut.”
Renata hanya membalasnya dengan meniup poninya. Sedetik kemudian Bu Nesha datang dan menyapa kami.
Ekskul. Aku masih terus memikirkan ‘itu’. Damn.
xoxoxo
WAAAHHH… ternyata si Justin Bieber alias kak Rafa ikut ekstra drama? Hahahaha… aku harus ikutan nih! Untung-untung bisa PDKT kan? Hihihihihihi… J
“HAH? Lo ikutan drama?” teriak Elin histeris saat dia meminjam buku catatan Geografiku. Elin tertawa keras. “Sejak kapan lo bisa drama? Dipaksa ketawa aja nggak bisa. Apalagi akting. Ngelawak lo ya!”
“Abis kak Rafa ikutan sih… hehehe.”
“Helooo Lola Ellese Lilian. Lo itu masih waras nggak sih? Masa ikutan ekskul gara-gara ada cowok ganteng? Gila lo ya.”
Aku memanyunkan bibir jelek sekali. “Ye… biarin aja kali. Yang penting gue ikutan ekskul. Lo nggak ikut?”
“Gue ikut. Cheers bareng sama Emily. Dia ngincar jabatan kapten. Huh, padahal masih anak baru udah berambisi gitu.” Elin mengembangkan senyuman lebarnya. “Oh ya… denger-denger ada cowok kelas 10 yang jadi sorotan cewek-cewek SMA Tunas Bangsa loh. Aduh ganteng banget tau nggak! Katanya sih dia Indonesian-Canadian gitu deh. Jadi agak kebule-bulean.”
Oh… gebetan baru ceritanya. Sejak Elin punya teman baru, dia jadi sedikit ganjen dan suka bicarain cowok-cowok mulu. Kalau nggak gitu mode-mode terkini. Dia udah agak berubah.
Eh tapi ini sekolah kok penuh anak-anak bule sih??? Gue jadi minder sendiri. Hahaha.
“Oh masa?” tanyau sok antusias. “Siapa namanya?”
“Kalau nggak salah sih namanya Edgar O’Sluffer. Aduh susah banget namanya. Pokoknya kalau nggak salah gitu.”
Aneh banget nama tuh cowok. Emang sih lagi gembar-gembornya berita tentang apa gitu. Tentang cowok atau cewek populer di Tunas Bangsa—apalagi anak-anak bule. Dan coba tebak? Sadam termasuk 5 besar cowok terpopuler menduduki peringkat 1. Dan kak Rafa di peringkat 3. Terus ada cewek yang menduduki peringkat 2. Kalau nggak salah namanya Sabrina. Mungkin anak senior. Ugh buat apaan sih kayak gituan? Itu malah membuat anak-anak yang un-popular jadi merasa direndahkan. Jadi terkesan nggak PD. Yah setidaknya aku bersyukur Elin nggak termasuk kelompok populer. Bisa-bisa dia semakin berubah.
xoxoxo
“WOW. We meet again,” kata kak Rafa saat aku pertama kali memasuki auditorium—tempat untuk berlatih drama dan semacamnya—yang luasnya melebihi 2 kamar tidur di rumahku.
“Oh hai kak… Aku nggak nyangka loh ternyata kakak ikutan ekskul ini.” Totally LIE. “Ehm… senang bertemu kakak lagi.”
“Hm… terdengar kaku ya? Gimana kalau kita mengakrabkan diri? Pakai bahasa biasa aja. Gue lebih suka kalau ada yang pandai mengakrabkan diri secepat mungkin.”
Ngerti maksudnya nggak?
Aku juga nggak ngerti.
“Maksudnya?”
“Panggil Rafa aja. Dan bicara seperti teman biasa. How, Lola?”
Aku mengerutkan kening dan tertawa. “Oh oke. Kayak pertama kali gue ngebentak lo?”
Kali ini kak… eh … Rafa tertawa. Aku belum pernah melihat tawanya. Wow. Semakin mirip Justin Bieber—stop Lola, pembaca udah muak kamu bicarain Justin Bieber mulu!
Cewek yang dulu pernah menjadi pemanduku di saat MOS mendekat dan ikut mengakrabkan diri. Sumpah. Dia cantik, eh bukan, manis sekali. Aku udah bisa menebak kalau aku bakalan langsung suka dengannya.
“Ada Lola si pembuat onar ya?” sapanya. Aku tertawa pelan.
“Yeah…” balasku dengan senyuman.
“Lola, ini Sinta. Dia pacar gue.”
“Kita kan udah saling mengenal, Rafa. Ya kan, Lola?”
Aku nggak langsung membalas karena terserang suatu penyakit tiba-tiba. Shock. Terkejut. Kaget. Kaget. Kaget—sudah berapa kali aku mengatakannya?
Coba deh. Ada yang salah dengan pendengaranku mungkin.
“Pa-car?” aku mengeja kata itu dengan enek. “Oh. Ya kita udah saling mengenal.”
Mendadak aku jadi mulas dan ingin menelan batu bulat-bulat.
Ada Sadam di panggung auditorium. Bahkan Sadam aja nggak bisa menyadarkanku dari keterkejutan yang luar biasa—lebay—nya. HWAAAAAAA………. aku benar-benar serasa seperti orang mati meskipun kuikuti sejuta ekskul sekalipun.
HELL. Damn.

To be continued…
Oleh: Lovita M. Cendana

I'm Jashlyn- "My First Love is a Human" (Part. 1)

JASHLYNE'POV



Full Name: Jashlyn Caitlin Cullen-Hale

Nick Name: Jashlyn, Black Treasure

Born: Manchester, 15 Jule 1958

Dead: 1975

Abilities: controling minds; if she touch humans, then, they dead

Blood statue: Vampire







JARUM jam di kamarku berputar lebih cepat dari

biasanya. Aku yang menggerakkannya secepat mungkin. Entah kenapa. Tapi setiap

aku bosan, aku melakukan hal yang menurutku sangat menyenangkan. Di rumah ini,

aku merasa sangat terasingkan. Aku anggota baru. Dan banyak yang menjauhiku

karena kelebihanku. Aku tidak akan mengatakan kelebihan. Sebenarnya ini adalah

kutukan. Mungkin. Karena setiap vampir memiliki kelebihan yang positif. Aku

tidak pernah menginginkannya. Meskipun terkadang kelebihanku ini sangat

berguna. Apalagi di saat-saat yang membahayakanku.



Tetapi Bella sering mengatakannya padaku kalau aku

ini istimewa. Aku memiliki kelebihan lebih dari satu yang membuatku terlihat

sangat unik. Yeah, mungkin baginya aku memang unik. Tapi tidak untuk yang

lainnya yang pernah menjadi korbanku.



“Jashlyn!” kudengar suara Alice memanggilku dari

bawah. Aku menghentikan permainanku pada jam dindingku dan menoleh ke arah

pintu.



“Ya, Mom,” balasku dengan setengah berteriak. Dengan

malas kuraih knop pintu kamarku dan segera turun ke bawah.



Di bawah sudah berkumpul yang lainnya. Memutari meja

oval panjang yang lebih mirip dengan meja makan—meskipun tidak pernah digunakan

untuk makan. Mataku tertuju ke arah Renesmee, gadis yang sangat kubenci.

Renesmee memang tidak pernah berbuat kasar padaku, bahkan ia selalu baik.

Tetapi kecemburuanlah yang membuatku membencinya. Semua orang baik dan sayang

padanya. Ia selalu mendapat banyak pelukan, kecupan, belaian, sentuhan, dan

yang lainnya tanpa melukai orang lain. Selain itu banyak yang menyukainya

karena ia memang sangat cantik.



“Apa kabarmu hari ini, Jashy?” tanya Esme ramah,

seperti biasa.



Aku duduk di dekat Bella yang tersenyum manis di

kursinya. Hanya Bella satu-satunya vampir yang tidak akan terluka jika

kusentuh. Itu karena kelebihannya yang imun terhadap kelebihan vampir lainnya.



“Seperti biasa. Sekolah, PR, ejekan, cemoohan,

kesendirian,” balasku dingin sambil meraih buku di depanku. Terdapat sebuah

nama di atasnya. Jacob Black. Oh, mungkin milik sahabat Bella, si anjing itu.



“Wow,” Esme membalas dengan alis terangkat.



“Oke, kita mulai,” kata Carlisle. Saat ini kami

berkumpul atas perintah Carlisle. Mungkin ada yang perlu dibicarakan sehingga

mengundang seluruh keluarga Cullen. “Kalian tahu kan besok adalah hari ulang

tahun Renesmee.”



Kepalaku beralih ke arah Rensemee secara langsung.

Kulihat senyuman lebar terkembang di bibirnya. Aku berusaha terlihat seperti

tidak peduli dan masa bodoh. Bisa kutebak aku akan bosan.



“Dan kita harus merayakannya,” lanjut Esme. Nadanya

terdengar sangat semangat.



“Asyik! Kita akan mengadakan pesta!” Alice berkoar.

Ia memang penggila pesta. “Sudah lama ya kita tidak mengadakan pesta di rumah

ini.”



“Dan sudah lama pula kita tidak mengundang makanan

kemari,” balasku sengit dengan seringaian lebar.



“Jashlyn,” tegur Jasper seperti biasa kalau aku

mulai bicara ngaco.



“Ya ya ya, Dad. Aku diam.” Aku memeragakan mulut

terkunci dan membuang kuci imajinasiku itu di depanku. Lebih tepatnya di depan

Renesmee yang ada di depanku.



Bella mengangkat dagunya. “Sebaiknya tidak perlu

terlalu berlebihan. Kita rayakan saja dengan keluarga dekat.”



“Mengundang Volturi kalau kalian mau. Aku bisa

merasakan keadaan seperti dalam tempat asalku.”



“Jashlyn, bisakah kau diam?” kali ini Rosalie yag angkat

bicara. Garis di keningnya terlihat jelas. Belakangan ini ia memang sering

tertekan. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Namun meskipun begitu, ia masih

terlihat sangat cantik.



“Tidak perlu memikirkan untuk acara yang tidak

penting,” akhirnya Renesmee ikut bicara. “Lagipula untuk apa dirayakan? Aku

sudah besar. Dan hal semacam itu justru terlihat sangat konyol. Aku sudah 17

tahun.”



“Dan aku 57 tahun,” cemoohku pelan. Aku memang masih

baru. Panjang ceritanya bagaimana bisa aku berubah dan bergabung dengan keluarga

Cullen dengan diadopsi oleh Jasper dan Alice.



“Aku tidak menyukai pesta.”



“Nessie memang mirip sekali dengan ibunya,” tutur

Edward dengan senyuman menggoda. Bella hanya menyengir kuda.



“Kalau seperti itu, sebaiknya kita tutup saja

pertemuannya. Ini adalah pertemuan konyol sepanjang hidupku.” Aku berdiri dan

berjalan dengan gusar. Berkali-kali Alice memanggilku, tetapi aku tidak

memedulikannya. Aku menatap lurus ke depan dan menaiki tangga menuju kamarku.

Sungguh membosankan.



Setiap malam aku merenung. Aku tidak tahu bagaimana

mengendalikan kelebihanku. Keluarga Volturi sudah pernah mengajariku tetapi aku

selalu kesulitan. Sebelum aku bergabung dengan keluarga Cullen, aku memang

diasuh oleh Volturi. Namun setelah aku tahu mereka hanya memanfaatkanku, aku

memutuskan untuk pergi. Jane mengerahkan anak buahnya untuk mencariku. Namun

aku selalu bisa menghindar. Saat aku diserang kawanan vampir jahat, Carlisle

menemukanku dan menawarkanku untuk bergabung. Ia sudah bernego dengan Volturi.

Dan syukurlah mereka mengijinkanku tinggal bersama keluarga Cullen. Dengan

syarat mereka akan selalu mengawasiku dan mengunjungiku setahun sekali. Aku

tidak tahu untuk apa.



Kelebihankulah yang diincar banyak vampir. Aku dapat

mengendalikan pikiran. Itu lumayan baik. Yang buruk adalah, setiap makhluk

hidup yang kusentuh, mereka akan mati dengan mengenaskan. Tapi jika mereka

menyentuhku terlebih dahulu, mereka tidak akan mengalami nasib yang tragis. Itu

sebabnya aku disebut Black Treasure oleh para vampir.



Pagi harinya, aku merasakan suhu di Forks naik

beberapa drajat. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena pengaruh musim. Saat

aku bersiap hendak berangkat ke sekolah, Renesmee memanggil namaku sehingga

membuatku terpaksa untuk berhenti.



“Jashy, aku ikut denganmu,” kata Renesmee. Ia

terlihat sangat ceria hari ini.



“Kau tahu kan aku selalu suka berangkat sendirian?”



“Ya, tapi tidak ada yang bisa mengantarku hari ini.”



“Kenapa tidak ada? Kan banyak sekali orang yang

peduli denganmu.” Aku tersenyum mengejek. “Anyway,

selamat ulang tahun.”



Renesmee membelalakkan matanya lebar setelah aku

mengucapkan kalimat tersebut seolah aku mengatakan ‘astagaaaa kau cantik

sekali, Nessie!!!’



“Trims! Kau masih peduli denganku!” Hampir saja

Renesmee memelukku kalau saja aku tidak cepat-cepat menghindar.



“Nessie! Aku tidak suka ada yang menyentuhku!”



“Maaf.” Renesmee memberikan tatapan menyesal.



Aku menghela napas panjang. “Oke, ayo kita

berangkat. Dan bersikaplah biasa, seperti saat aku dan kau tidak pernah

berbicara satu sama lain. Mengerti?”



“Oke.” Renesmee tersenyum lebar dan berjalan dnegan

langkah riang menuju mobilku.



Aku heran, kenapa Renesmee tidak mau membawa mobil

sendiri. Padahal ia sudah bisa mengemudi dan berhasil mendapatkan SIM setelah

ujian mengemudi di sekolah. Jadi kalau bukan Edward yang mengantarkannya, Bella

atau Esme yang akan mengantarkannya. Kalau aku selalu berangkat sendirian

meskipun Alice ataupun Jasper menawarkan diri untuk mengantarku. Tapi aku tidak

mau terlihat seperti anak TK yang setiap hari diantar jemput orangtuanya. seperti

Renesmee.



Satu sekolah hebih saat aku dan Renesmee sampai di

sekolah. Anak-anak berbondong-bondong untuk memberikan ucapan ulang tahun

kepada Renesmee. Aku yang berada di dekat Renesmee serasa seperti seorang

pengasuh yang diabaikan. Karena banyaknya anak yang memberikan ucapan selamat

kepada Renesmee, aku memutuskan untuk berjalan menuju lokerku sendirian.



“Pagi yang cerah ya?” sapa seseorang di sebelahku.

Oh, Justin.



“Hai,” balasku acuh masih dengan kesibukanku mencari

buku-bukuku yang kutinggalkan di loker.



“Sepertinya tidak untukmu?”



“Aku sedang

bad
mood. Dan jangan buat aku lebih

bad
mood lagi.” Aku membalikkan badan dan bertatapan langsung dengan Justin.

Kuakui ia memang tipe yang diidamkan banyak cewek.



“Aku dengar hari ini ulang tahun Nessie.”



“Ya. Dan aku sudah mengucapkan ‘selamat ulang

tahun’.” Aku memutuskan untuk tidak meladeni Justin. “Aku harus mendatangi

kelas Mrs. Harrison. Sampai jumpa.” Aku berbalik dan hendak melenggang pergi.

Namun secara tiba-tiba Justin menarik tanganku. Membuat mataku membulat lebar.



“Tunggu!”



Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya takut

kalau ia bisa terbunuh. Tetapi rasa takutku perlahan sirna saat aku berbalik

badan dan melihat ia baik-baik saja. Yah, karena ia yang menyentuhku terlebih

dahulu. Bukan aku. Tetapi perasaan yang kurasakan tadi lebih dari itu. Ada yang

lain. Dan aneh.



Aku melepaskan tanganku. “Kenapa?”



“Aku ingin menitipkan ini padamu.” Justin

mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dan memberikan sebuah bugkusan kecil

kepadaku. “Untuk Nessie.”



Aku menaikkan sebelah alisku dan menerima hadiah

ulang tahun Renesmee dari Justin. “Baiklah.” Setelah itu aku berbalik dan

meninggalkan Justin. Kudengar ia berseru mengatakan ‘trims’. Aku mengabaikannya

dan menatap lurus ke depan.



Entah kenapa, aku merasakan kekecewaan yang luar

biasa saat Justin mengucapkan kalimat itu. Dan kepalaku dipenuhi dengan kalimat

itu.



“Untuk Nessie.”



“Untuk Nessie.”



“Untuk Nessie.”



Dan aku mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya

tidak pernah terjadi padaku.



Aku menyukai manusia ini.



To

be continued...



NB: sorry kalo ceritanya agak aneh and agak ngga kayak ff biasanya -_- maklum baru tahu yg namanya fanfic itu apa

NBB: post comments please?

thanks ^_^

Loveyta Chen

About Me

Foto saya
hi, im the mysterious :P

Welcome to My Blog

you just clicked this page. don't go anywhere until you leave me a message

Labels

Followers

Blogger news

Blogger templates

Follow My Twitter!

Blogroll

: