Sampai akhirnya aku berhasil lari sembari menggandeng tangan Renata saat Sadam berteriak memanggil namaku keras-keras. Setelah kejadian itu aku baru menceritakan semuanya pada Renata dan dia minta maaf karena sudah membuat Sadam menyadari keberadaanku. Sejak itu juga kami semakin akrab.
“Well, lo udah dapet teman berapa? Gue lihat cuma satu ya?” tanya Elin saat dia berkunjung ke rumahku. Hari ini dia membawa DVD film terbaru. Judulnya nggak tau sih… abis ribet banget.
“Emang kenapa kalau gue cuma punya satu teman?” tanyaku balik seraya menekan tombol ‘OPEN’ di DVD. Lalu memasukkan kaset Elin ke dalam DVD.
“Ya… lo harus mencari teman lebih dari satu, La. Kalau nggak, entar lo bakalan bosan dan nggak gaul.”
Aku memencet tombol Play pada remot DVD dan film pun terputar. “Emang lo punya teman berapa?”Aku duduk di samping Elin sambil menikmati keripik yang baru kuambil dari dalam lemari penyimpan makanan.
“5 anak. Itupun mereka anak-anak orang kaya loh! Kayak Zevana. Orangtuanya punya bisnis sampai ke Inggris. Terus Erina, katanya sih bokapnya bekerja sebagai tentara gitu. Uhm… ada juga si kembar Mona dan Vivian, orangtuanya punya restoran di Perancis dan Itali. Oh ya! Itu, si Emily. Dia keturunan Spanyol-Amerika yang baru pindah ke Indonesia 3 tahun yang lalu.”
Aku membuka mulut lebar-lebar. Hebat banget si Elin ini sampai-sampai berteman dengan anak-anak orang kaya yang luar biasa. Tapi nggak heran juga sih. Elin emang pandai bergaul. Apalagi dia cantik dan orang berada. Orangtuanya kan punya butik sampai ke Australia dan penghasilan mereka ‘lumayan’. Nggak kayak aku. Orangtuaku nggak sekaya Elin. Papa hanya punya satu restoran kecil-kecilan. Dan mama bekerja jadi guru privat musik. Elin punya 2 mobil yang keren. Kalau aku cuma punya satu mobil. Itupun sering masuk bengkel. Tapi aku bersyukur banget masih bisa sekolah. Di sekolah elit lagi.
“Wow. Hebat banget lo. Gue baru kenal Renata. Anaknya asik banget. Biarpun pendiam, tapi dia bisa ngehibur gue.” Aku jadi nggak konsen nonton film yang dibawa Elin. Kuceritakan Renata secara detail. “Orangtuanya sih ‘lumayan’ juga. Mereka sibuk bekerja. Aku nggak tau pekerjaan mereka apa. Tapi Renata bilang orangtuanya selalu berada di avokad avokad alpukat atau apalah itu.”
“Oh… Advokad. Berarti orangtua Renata berprofesi jadi pengacara.”
Aku mengangguk-angguk. Agak setuju juga dengan Elin. Selama ini Renata belum menceritakan keluarganya secara detail. Padahal aku sudah menceritakan keluargaku padanya.
Selanjutnya waktu kami habiskan untuk mengamati film yang diputar. Astaga… film tembak-tembakan ternyata. Aku paling mual kalau melihat film seperti ini. Jadi kuputuskan untuk berbaring di depan layar tv sembari memejamkan mata dan menyumpal telingaku dengan headphone dari i-Podku. Tanpa kusadari aku tertidur pulas.
xoxoxo
“LOLA! Sarapan dulu!”“Nggak, Ma! Lola udah telat nih!” aku segera berlari keluar.
“Bareng papa, nggak?” tawar papa.
“Nggak. Mobil papa selalu mogok. Entar Lola jadi makin telat.” Aku memandang ke arah arlojiku yang sudah menunjukkan pukul 06.45. “Aduh… udah ah Lola berangkat dulu. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam…” balas mama dan papa serentak. Memandangiku yang tergopoh mengayuh sepeda gunungku.
Entah kenapa Elin udah nggak mau naik sepeda gunungnya lagi ke sekolah. Dia lebih sering diantar jemput oleh mobil temannya. Kalau nggak gitu dia naik mobil pribadinya. Aku nggak mempermasalahkan hal itu. Yang kupermasalahkan adalah dia nggak mengajakku bareng seperti biasanya. Dan sekarangpun dia udah sibuk sendiri dengan urusannya. Kalau nggak ada acara sama teman-teman barunya, baru dia datang ke rumahku. Ugh…
Aku hampir aja telat. Jadi saat gerbang hendak ditutup aku semakin mempercepat kayuh sepedaku sehingga satpam yang menjaga gerbang hampir terserempet.
“Hati-hati, Neng!”
“Sori, Pak!” balasku lantang. Kuparkirkan sepedaku seperti biasanya di parkiran sekolah. Berjejeran dengan sebuah mobil sport yang sepertinya mahal banget. Sejak masuk hari kedua sekolah, aku memang membawa sepeda sendiri. Soalnya Elin kan udah nggak lagi bareng sama aku. Well, I comes alone.
“Lola? Lo terlambat ya? Nggak seperti biasanya.” Pagi-pagi Renata udah menginterogasi. Aku mengangkat bahu.
“Iya nih. Gara-gara semalem gue begadang. Nggak bisa tidur. Soalnya siangnya gue udah tidur.”
“Oh… Eh, lo nggak ikutan ekstrakulikuler?”
Aku memandang Renata dengan pandangan selidik. “Kenapa emangnya?”
“Gue mau ikutan pemilihan anggota baru tim cheers. Lo mau ikutan?”
Cheers? Hell-ooo??? Lo tau kan siapa gue???
“Nggak ah. Nggak tertarik.” Aku mengeluarkan buku Bahasa Indonesia saat bel berdering. “Lagipula gue males beraktifitas kayak apapun. Membuang-buang waktu aja.”
“Eh… siapa bilang? Justru tanpa adanya ekskul lo malah kayak orang mati. Nggak bisa maju, selalu jalan di tempat.”
“Apa hubungannya ekskul sama orang mati?”
Renata mendengus kesal. Kemudian dia memberikan sebuah lembaran kertas. Aku menyambarnya dengan malas. “What the hell?” Kupandang Renata malas sambil menunjuk kertas di tanganku itu.
“Lo tertarik sama sastra nggak? Lo pernah bilang sama gue kalau lo suka banget baca novel. Lo ikutan tim mading ya.”
“Suka baca novelnya bukan berarti gue suka sastra. Gue cuma suka membayangkan imajinasi orang aja. Gue nggak mau ikutan mading atau apalah.”
Kali ini Renata benar-benar kesal denganku. Yah… mungkin dia pikir aku ini kuno atau apalah.
“Pokonya lo harus ikutan ekskul. Entah cuma dua atau satu! Harus!”
Aku memutar mataku dengan kesal. “Oke. Ada ekskul yudo apa nggak? Atau wushu gitu? Kalau ada gue bakalan ikut.”
Renata hanya membalasnya dengan meniup poninya. Sedetik kemudian Bu Nesha datang dan menyapa kami.
Ekskul. Aku masih terus memikirkan ‘itu’. Damn.
xoxoxo
WAAAHHH… ternyata si Justin Bieber alias kak Rafa ikut ekstra drama? Hahahaha… aku harus ikutan nih! Untung-untung bisa PDKT kan? Hihihihihihi… J“HAH? Lo ikutan drama?” teriak Elin histeris saat dia meminjam buku catatan Geografiku. Elin tertawa keras. “Sejak kapan lo bisa drama? Dipaksa ketawa aja nggak bisa. Apalagi akting. Ngelawak lo ya!”
“Abis kak Rafa ikutan sih… hehehe.”
“Helooo Lola Ellese Lilian. Lo itu masih waras nggak sih? Masa ikutan ekskul gara-gara ada cowok ganteng? Gila lo ya.”
Aku memanyunkan bibir jelek sekali. “Ye… biarin aja kali. Yang penting gue ikutan ekskul. Lo nggak ikut?”
“Gue ikut. Cheers bareng sama Emily. Dia ngincar jabatan kapten. Huh, padahal masih anak baru udah berambisi gitu.” Elin mengembangkan senyuman lebarnya. “Oh ya… denger-denger ada cowok kelas 10 yang jadi sorotan cewek-cewek SMA Tunas Bangsa loh. Aduh ganteng banget tau nggak! Katanya sih dia Indonesian-Canadian gitu deh. Jadi agak kebule-bulean.”
Oh… gebetan baru ceritanya. Sejak Elin punya teman baru, dia jadi sedikit ganjen dan suka bicarain cowok-cowok mulu. Kalau nggak gitu mode-mode terkini. Dia udah agak berubah.
Eh tapi ini sekolah kok penuh anak-anak bule sih??? Gue jadi minder sendiri. Hahaha.
“Oh masa?” tanyau sok antusias. “Siapa namanya?”
“Kalau nggak salah sih namanya Edgar O’Sluffer. Aduh susah banget namanya. Pokoknya kalau nggak salah gitu.”
Aneh banget nama tuh cowok. Emang sih lagi gembar-gembornya berita tentang apa gitu. Tentang cowok atau cewek populer di Tunas Bangsa—apalagi anak-anak bule. Dan coba tebak? Sadam termasuk 5 besar cowok terpopuler menduduki peringkat 1. Dan kak Rafa di peringkat 3. Terus ada cewek yang menduduki peringkat 2. Kalau nggak salah namanya Sabrina. Mungkin anak senior. Ugh buat apaan sih kayak gituan? Itu malah membuat anak-anak yang un-popular jadi merasa direndahkan. Jadi terkesan nggak PD. Yah setidaknya aku bersyukur Elin nggak termasuk kelompok populer. Bisa-bisa dia semakin berubah.
xoxoxo
“WOW. We meet again,” kata kak Rafa saat aku pertama kali memasuki auditorium—tempat untuk berlatih drama dan semacamnya—yang luasnya melebihi 2 kamar tidur di rumahku.“Oh hai kak… Aku nggak nyangka loh ternyata kakak ikutan ekskul ini.” Totally LIE. “Ehm… senang bertemu kakak lagi.”
“Hm… terdengar kaku ya? Gimana kalau kita mengakrabkan diri? Pakai bahasa biasa aja. Gue lebih suka kalau ada yang pandai mengakrabkan diri secepat mungkin.”
Ngerti maksudnya nggak?
Aku juga nggak ngerti.
“Maksudnya?”
“Panggil Rafa aja. Dan bicara seperti teman biasa. How, Lola?”
Aku mengerutkan kening dan tertawa. “Oh oke. Kayak pertama kali gue ngebentak lo?”
Kali ini kak… eh … Rafa tertawa. Aku belum pernah melihat tawanya. Wow. Semakin mirip Justin Bieber—stop Lola, pembaca udah muak kamu bicarain Justin Bieber mulu!
Cewek yang dulu pernah menjadi pemanduku di saat MOS mendekat dan ikut mengakrabkan diri. Sumpah. Dia cantik, eh bukan, manis sekali. Aku udah bisa menebak kalau aku bakalan langsung suka dengannya.
“Ada Lola si pembuat onar ya?” sapanya. Aku tertawa pelan.
“Yeah…” balasku dengan senyuman.
“Lola, ini Sinta. Dia pacar gue.”
“Kita kan udah saling mengenal, Rafa. Ya kan, Lola?”
Aku nggak langsung membalas karena terserang suatu penyakit tiba-tiba. Shock. Terkejut. Kaget. Kaget. Kaget—sudah berapa kali aku mengatakannya?
Coba deh. Ada yang salah dengan pendengaranku mungkin.
“Pa-car?” aku mengeja kata itu dengan enek. “Oh. Ya kita udah saling mengenal.”
Mendadak aku jadi mulas dan ingin menelan batu bulat-bulat.
Ada Sadam di panggung auditorium. Bahkan Sadam aja nggak bisa menyadarkanku dari keterkejutan yang luar biasa—lebay—nya. HWAAAAAAA………. aku benar-benar serasa seperti orang mati meskipun kuikuti sejuta ekskul sekalipun.
HELL. Damn.
To be continued…
Oleh: Lovita M. Cendana

The Casino at Mohegan Sun - MapyRO
BalasHapusMohegan 충주 출장마사지 Sun, Uncasville, CT 06382, United States. 경기도 출장샵 Directions · 충청북도 출장샵 (860) 862-6099. Call Now · More Info. Hours, Accepts Credit Cards, Mobile. Map Rating: 2.9 영천 출장마사지 · 30 창원 출장샵 reviews